Jumat, 04 Februari 2011

SEJARAH ACEH UTARA

Sejak dulu, masyarakat Aceh dikenal berkarakter kuat. Mereka tidak mudah menyerah. Karakter ini terbukti saat Belanda menguasai Nusantara sekitar abad 16-20. Aceh adalah wila-yah Nusantara yang paling akhir dikuasai Belanda sekaligus memakan waktu paling lama ditundukkan. Upaya Belan-da menguasai Aceh berlangsung kurang lebih 40 tahun, sejak maklumat perang Kerajaan Aceh-Belanda diumumkan resmi tahun 1873, hingga tahun 1913. Meski demikian, sejak tahun 1824, konflik sering terjadi antara Belanda dengan kerajaan Aceh.
Penyebab banyak bangsa Eropa berhasrat menguasai Aceh adalah karena negeri ini sangat kaya akan rempah-rempah, terutama lada, yang tergolong komoditas primadona Aceh masa itu. Diperkirakan saat itu, wilayah Pasai di Aceh Utara sekarang ini, mengekspor lada kira-kira 8.000 sampai 10.000 bahar per tahun. Selain lada, diekspor pula sutra, kapur barus, bahkan emas.
Untunglah, masa itu bangsa kolonial belum mengetahui bahwa di bumi Aceh, khususnya di Kabupaten Aceh Utara saat ini, terdapat "harta karun" luar biasa. Harta karun tersebut berupa kandungan gas alam cair dan minyak bumi yang melimpah di Lhok Seumawe, Kecamatan Banda Sakti, dan beberapa wilayah Aceh Utara lainnya. Mungkin, jika saat itu ditemukan ladang gas dan minyak bumi di Aceh, semakin banyak bangsa asing yang bersaing menguasai wilayah ini.
Ladang gas dan minyak ditemukan di Lhok Seumawe, ibu kota Aceh Utara sekitar tahun 1970-an. Kemudian, Aceh mulai didatangi investor luar negeri yang tertarik pada sumber daya alamnya yang hebat. Sejak saat itu, gas alam cair atau LNG (Liquified Natural Gas) yang diolah di kilang PT Arun Natural Gas Liquifaction (NGL) Co, yang berasal dari instalasi PT ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) di zona industri Lhokseumawe, menyulap wilayah ini di kawasan industri pe-trokimia modern.
Sayangnya, kekayaan yang tersimpan dalam perut bumi Aceh Utara itu tidak dinikmati seluruh penduduknya. Logis-nya, wilayah kaya seharusnya penduduknya pun kaya. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi di daerah ini. Masih banyak penduduk miskin terpencil di pelosok wilayah kabupaten. Bahkan, pada Januari 2000, tercatat 59.192 keluarga yang tergolong prasejahtera di Kabupaten Aceh Utara. Jumlah ini yang tertinggi (data 1999) di antara kabupaten dan kota di Provinsi DI Aceh. Padahal, di wilayah ini pertama kali ditemukan ladang migas di Aceh.
***
HINGGA saat ini, mayoritas masyarakat Aceh Utara bermata pencaharian petani. Wilayah ini dikenal sebagai penghasil beras utama dan potensial di Provinsi Aceh. Tahun 2000, produksi padi sekitar 320.000 ton. Keberhasilan penanaman padi di Aceh Utara juga tampak dari areal panen yang paling luas di antara komoditas lainnya. Luas panen padi tahun 2000 sekitar 73.000 hektar, dengan produktivitas 4,40 ton per hektar.
Selain padi, Aceh Utara memiliki komoditas pertanian "emas" lain yaitu kedelai. Demam tanaman kedelai yang melanda petani di Aceh Utara dimulai sejak tahun 1991. Hingga saat ini, produksi kedelai menempati tempat kedua setelah padi pada subsektor pertanian bahan pangan. Pada tahun 2000, dengan luas panen 45.000 hektar lebih, produksi kedelai Aceh Utara mendekati angka 60.000 ton. Jika dilihat, produktivitasnya cukup rendah, hanya 1,23 ton per hektar. Namun, hal ini tidak menghilangkan status "primadona" pada komoditas kedelai.
Hasil kegiatan ekonomi Kabupaten Aceh Utara tahun 1999 didominasi sektor pertambangan sekitar 57 persen,
Kemakmuran dengan pemenuhan berbagai fasilitas hanya tampak di sekitar zona industri tambang.
Di luar itu yang tampak adalah desa miskin dengan fasilitas minim. Padahal, keuntungan yang diperoleh industri besar tersebut mencapai ratusan juta dollar AS per bulan. Penyerapan tenaga kerja lokal yang diharapkan penduduk sekitar juga kurang dipenuhi.
Misalnya, ExxonMobil yang hanya memiliki 600 pekerja tetap yang berasal dari lokal, di samping 30 pekerja asing dan 1.500 pekerja kontrak. Jumlah penduduk Aceh Utara saat ini sekitar 650.000 jiwa.
Di Aceh Utara sendiri terdapat tiga industri besar yang bahan bakunya sepenuhnya disuplai Exxon, yaitu PT Asean Aceh Fertilizer (AAF), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), dan PT Kertas Kraft Aceh (KKA dengan subsektor migas 56,4 persen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar